Senin, 25 Mei 2009

Andaikan semua orang Indonesia seperti Bapak Boediono

Date: Sat, 16 May 2009 20:01:29 +1000





Subject: Tulisan Faisal Basri tentang Boediono.



Saya pertama kali mengenal Pak Boed pada akhir 1970-an lewat buku-bukunya
yang enak dibaca, ringkas, dan padat. Pada akhir 1970-an. Kalau tak salah,
judul-judul bukunya selalu dialawali dengan kata "sinopsis," ada Sinopsis
Makroekonomi, Sinopsis Mikroekonomi, Sinopsis Ekonomi Moneter, dan
Sinopsis Ekonomi Internasional. Kita mendapatkan saripati ilmu ekonomi
dari buku-bukunya yang mudah dicerna.
Pada suatu kesempatan, Pak Boed mengutarakan pada saya niatnya untuk
merevisi buku-bukunya itu. Mungkin ia berniat untuk menulis lebih serius
sehingga bisa menghasilkan buku teks yang lebih utuh. Kala itu saya
menangkap keinginan kuat Pak Boed untuk kembali ke kampus dan menyisihkan
waktu lebih banyak menulis buku. Karena itu, ia tak lagi berminat untuk
kembali masuk ke pemerintahan setelah masa tugasnya selesai sebagai
Menteri Keuangan di bawah pemerintihan Ibu Megawati .
Pak Boed dan Pak Djatun (Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Menko Perekonomian)
bekerja keras memulihkan stabilitas ekonomi yang "gonjang-ganjing" di
bawah pemerintahan Gus Dur. Hasilnya cukup mengesankan. Pertumbuhan
ekonomi mengalami peningkatan terus menerus. Di tengah hingar bingar masa
kampanye seperti dewasa ini, Ibu Mega ditinggalkan oleh wapresnya, dua
menko, dan seorang menteri (Agum Gumelar). Ternyata perekonomian tak
mengalami gangguan berarti. Kedua ekonom senior ini bekerja keras mengawal
perekonomian. Hasilnya cukup menakjubkan, pertumbuhan ekonomi pada
triwulan keempat 2004 mencapai 6,65 persen, tertinggi sejak krisis hingga
sekarang.
Selama dua tahun pertama pemerintahan SBY-JK, perekonomian Indonesia
mengalami kemunduran. Tatkala muncul gelagat Pak SBY hendak merombak
kabinet, sejumlah kawan mengajak Pak Boed bertemu. Nia t para kolega ini
adalah membujuk Pak Boed agar mau kembali masuk ke pemerintahan seandainya
Pak SBY memintanya. Agar lebih afdhol, kolega-kolega saya ini juga
mengajak Ibu Boed. Mungkin di benak mereka, Ibu bisa turut luluh dengan
pengharapan mereka. Akhirnya, Pak Boed menduduki jabatan Menko
Perekonomian. Mungkin sahabat-sahabat saya itu masih terngiang-ngiang
sinyal penolakan Pak Boed dengan selalu mengatakan bahwa ia sudah cukup
tua dan sekarang giliran yang muda-muda untuk tampil. Memang, Pak Boed
selalu memilih ekonom muda untuk mendampinginya: Mas Anggito, Bung Ikhsan,
Bung Chatib Basri, Mas Bambang Susantono, dan banyak lagi. Semua mereka
lebih atau jauh lebih muda dari saya.
Interaksi langsung terjadi ketika Pak Boed menjadi salah seorang anggota
Dewan Ekonomi Nasional (DEN). Saya ketika itu anggota Tim Asistensi
Ekonomi Presiden (anggota lainnya adalah Pak Widjojo Nitisastro, Pak Alim
Markus, dan Ibu Sri Mulyani Indrawati). Ibu Sri Mulyani memiliki jabatan
rangkap (jadi bukan sekarang saja), selain sebagai anggota Tim Asistensi
juga menjadi sekretaris DEN. Pak BOed tak pernah mau menonjolkan diri,
walau ia sempat jadi menteri pada masa transisi.
Sikap rendah hati itulah yang paling membekas pada saya. Lebih banyak
mendengar ketimbang bicara. Kalau ditanya yang "nyerempet-nyerempet ,"
jawabannya cuma dengan tersenyum. Saya tak pernah dengar Pak Boed
menjelek-jelekkan orang lain, bahkan sekedar mengkritik sekalipun.
Tak berarti bahwa Pak Boed tidak tegas. Seorang sahabat yang membantunya
di kantor Menko Perekonomian bercerita pada saya ketegasan Pak Boed ketika
hendak memutuskan nasib proyek monorel di Jakarta yang sampai sekarang
terkatung-katung. Suatu waktu menjelang lebaran, Pak Boed dan sejumlah
staf serta, kalau tak salah, Menteri Keuangan dipanggil Wapres. Sebelum
meluncur bertemu Wapres, Pak Boed wanti-wanti kepada seluruh stafnya agar
kukuh pada pendirian berdasarkan hasil kajian yang mereka telah buat. Pak
Boed sempat bertanya kepada jajarannya, kira-kira begini: "Tak ada yang
konflik kepentingan, kan ? Ayo kita jalan, Bismillah . Keesokan harinya,
saya membaca di media massa bahwa sekeluarnya dari ruang pertemuan dengan
Wapres, semua mereka berwajah "cemberut" tanpa komentar satu kata pun
kepada wartawan.
Adalah Pak Boed pula yang memulai tradisi tak memberikan "amplop" kalau
berurusan dengan DPR. Tentang ini, saya dengar sendiri perintahnya kepada
Mas Anggito.
Ada dua lagi, setidaknya, pengalaman langsung saya berjumpa dengan Pak
Boed.. Pertama, satu pesawat dari Jakarta ke Yogyakarta tatkala Pak Boed
masih Menteri Keuangan. Berbeda dengan pejabat pada umumnya, Pak Boed
dijemput oleh Ibu. Dari kejauhan saya melihat Ibu menyetir sendiri mobil
tua mereka.
Kedua, saya dan isteri sekali waktu bertemu Pak Boed dan Ibu di
Supermarket dekat kediaman kami. Dengan santai, Pak Boed mendorong
keranjang belanja. Rasanya, hampir semua orang di sana tak sadar bahwa si
pendorong keranjang itu adalah seorang Menko.
Banyak lagi cerita lain yang saya dapatkan dari berbagai kalangan. Kemarin
di bandara Soekarno Hatta setidaknya dua orang (pramugara dan staf ruang
tunggu) bercerita pada saya pengalaman mengesankan mereka ketika bertemu
Pak Boed. Seperti kebanyakan yang lain, kesan paling mendalam keduanya
adalah sikap rendah hati dan kesederhanaannya.
Dua hari lalu saya dapat cerita lain dari pensiunan pejabat tinggi BI. Ia
mengalami sendiri bagaimana Pak Boed memangkas berbagai fasilitas yang
memang terkesan serba "wah." Dengan tak banyak cingcong, ia mencoret
banyak item di senarai fasilitas. Kalau tak salah, Pak Boed juga menolak
mobil dinas baru BI sesuai standar yang berlaku sebelumnya. Entah apa yang
terjadi, jangan-jangan mobil para deputi dan deputi senior lebh mewah dari
mobil dinas gubernur.
Kalau mau tahu rumah pribadi Pak Boed di Jakarta, datang saja ke kawasan
Mampang Prapatan, dekat Hotel Citra II. Kebetulan kantor kami, Pergerakan
Indonesia , persis berbelakangan dengan rumah Pak Boed. Rumah itu
tergolong sederhana. Bung Ikhsan pernah bercerita pada saya, ia
menyaksikan sendiri kursi di rumah itu sudah banyak yang bolong dan lusuh.
Bagaimana sosok seperti itu dituduh sebagai antek-antek IMF, simbol
Neoliberalism e yang bakal merugikan bangsa, dan segala tuduhan miring
lainnya. Lain kesempatan kita bahas tentang sikap dan falsafah ekonomi Pak
Boed. Kali ini saya hanya sanggup bercerita sisi lain dari sosok Pak Boed
yang kian terasa langka di negeri ini.
Maju terus Pak Boed.


note: jika ingin konfirmasi lebih lanjut kebenaran tulisan ini, silahkan kontak langsung ke mas faisal basri

Tidak ada komentar: